File ujian komputer silahkan klik disini
Rabu, 15 Januari 2014
Kesehatan itu berawal dari makanan yang kita konsumsi
04.31 4 Comments info
Banyak orang di dunia ini ingin memiliki umur yang panjang. Hidup sampai tua dan hidup sehat tentunya. Hal itu juga bisa kita wujudkan dengan makanan yang bergizi, sehat, teratur, dan banyak mamfaat untuk diri kita. Menjaga kesehatan sebenarnya adalah hal yang sangat mudah, tapi banyak orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya dalam menjaga kesehatan itu sendiri, contohnya saja memakan makanan cepat saji yang berlebihan sehingga dirinya terserang stroke. Dan banyak hal lain yang menyebabkan seseorang tidak memiliki pola hidup sehat. Untuk itu jika ingin memiliki umur yang panjang mulailah konsumsi makan yang sehat dan aturlah pola hidup sehat diri kita.
Ada beberapa item yang bisa diketahui info lebih lanjut. Untuk info lebih lanjut silahkan klik di setiap link yang tersedia.
Ada beberapa item yang bisa diketahui info lebih lanjut. Untuk info lebih lanjut silahkan klik di setiap link yang tersedia.
Selasa, 14 Januari 2014
KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS
05.52 0 Comments tugas
Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif. Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif. Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya. Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi. Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik. Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan. Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai. Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh. Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu. Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan. Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari. Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari. Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari. Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang. Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari. Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam. Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu. Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal. Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.
untuk mengetahui informasi lebih lanjut silahkan klik link yang tersedia di atas.
untuk mengetahui informasi lebih lanjut silahkan klik link yang tersedia di atas.
Selasa, 07 Januari 2014
Vitamin C Deficiency Increases the Lung Pathology of Influenza Virus–Infected Gulo2/2 Mice
06.44 0 Comments jurnal
This study was designed to determine the effects of vitamin C deficiency on the immune response to infection with influenza virus. L-Gulono-g-lactone oxidase gene-inactivated mice (gulo2/2 mice) require vitamin C supplementation for survival. Five-wk-old male and female gulo2/2 mice were provided water or water containing 1.67 mmol/L vitamin C for 3 wk before inoculation with influenza A/Bangkok/1/79. There were no differences in lung influenza virus titers between vitamin C–adequate and –deficient mice; however, lung pathology in the vitamin C–deficient mice was greater at 1 and 3 d after infection but less at d 7 compared with vitamin C–adequate mice. Male vitamin C–deficient mice had higher expression of mRNA for regulated upon activation normal T expressed and secreted (RANTES), IL-1b, and TNF-a in the lungs at d 1 after infection compared with male controls. However, at d 3 after infection, male vitamin C–deficient mice
had less expression of mRNA for RANTES, monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), and IL-12 compared with male controls. None of these differences were observed in female mice. Vitamin C–deficient male mice also had greater nuclear factor-kB activation as early as 1 d after infection compared with male controls. These data suggest that vitamin C is required for an adequate immune response in limiting lung pathology after influenza virus infection.
for more info you can download here
had less expression of mRNA for RANTES, monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), and IL-12 compared with male controls. None of these differences were observed in female mice. Vitamin C–deficient male mice also had greater nuclear factor-kB activation as early as 1 d after infection compared with male controls. These data suggest that vitamin C is required for an adequate immune response in limiting lung pathology after influenza virus infection.
for more info you can download here
Effect of Vitamin D Deficiency on Fertility and Reproductive Capacity in the Female Rat
06.29 1 Comments jurnal
The effects of vitamin D deficiency on fertility, reproductive capacity and on fetal and neonatal development were investigated. Female weanling rats were maintained on either a vitamin D-replete or vitamin D-deficient diet until maturity and mated with normal males. Vitamin D-deficient females were capable of reproduction. However, vitamin D deficiency reduced overall fertility by 75%, diminished litter sizes by 30% and impaired neonatal growth from day 6 to day 15 of lactation. Fetal development as judged by weight gain and viability appeared normal. Neonatal viability was also normal even though growth was retarded. The concentrations of calcium and inorganic phosphate in milk from vitamin D-replete and vitamin D-deficient mothers were similar implying that the transfer of calcium and phosphorus from the plasma to the milk is a vitamin D-independent process.
for more info you can download here
for more info you can download here
NUTRISI DAN GIZI BURUK
06.16 0 Comments jurnal
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan defisiensi mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di negara-negara berkembang, yang merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita1. Di Indonesia KEP dan defisiensi mikronutrien juga menjadi masalah kesehatan penting dan darurat di masyarakat terutama anak balita.
.
Kasus kematian balita akibat gizi buruk kembali berulang, terjadi secara masif dengan wilayah sebaran yang hampir merata di seluruh tanah air. Sejauh pemantauan yang telah dilakukan temuan kasus tersebut terjadi setelah anak-anak mengalami fase kritis. Sementara itu, perawatan intensif baru dilakukan setelah anak-anak itu benar-benar tidak berdaya. Berarti sebelum anak-anak itu memasuki fase kritis, perhatian terhadap hak hidup dan kepentingan terbaiknya terabaikan.
.
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans.
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Mandala of Health. Indonesia masih tinggi. Hasil Susenas
menunjukkan adanya penurunan prevalensi balita gizi buruk yaitu dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1% pada tahun 1999 dan menjadi 6,3% pada tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali
prevalensi gizi buruk dari 8,0% menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 8,8% pada tahun 2005. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan seluruh Indonesia terjadi penurunan kasus gizi buruk yaitu pada tahun 2005 terdata 76.178 kasus kemudian turun menjadi 50.106 kasus pada tahun 2006 dan
39.080 kasus pada tahun 2007. Penurunan kasus gizi buruk ini belum dapat dipastikan karena penurunan kasus yang terjadi kemungkinan juga disebabkan oleh adanya kasus yang tidak terlaporkan (under reported). Mencuatnya kembali pemberitaan di media massa akhir-akhir ini mengenai balita gizi buruk yang ditemukan dan meninggal menunjukkan sistem surveilans dan penanggulangan dari berbagai instansi terkait belum optimal.
untuk info lebih lengkap silahkan download di sini
Baca selengkapnya »
.
Kasus kematian balita akibat gizi buruk kembali berulang, terjadi secara masif dengan wilayah sebaran yang hampir merata di seluruh tanah air. Sejauh pemantauan yang telah dilakukan temuan kasus tersebut terjadi setelah anak-anak mengalami fase kritis. Sementara itu, perawatan intensif baru dilakukan setelah anak-anak itu benar-benar tidak berdaya. Berarti sebelum anak-anak itu memasuki fase kritis, perhatian terhadap hak hidup dan kepentingan terbaiknya terabaikan.
.
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans.
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Mandala of Health. Indonesia masih tinggi. Hasil Susenas
menunjukkan adanya penurunan prevalensi balita gizi buruk yaitu dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1% pada tahun 1999 dan menjadi 6,3% pada tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali
prevalensi gizi buruk dari 8,0% menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 8,8% pada tahun 2005. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan seluruh Indonesia terjadi penurunan kasus gizi buruk yaitu pada tahun 2005 terdata 76.178 kasus kemudian turun menjadi 50.106 kasus pada tahun 2006 dan
39.080 kasus pada tahun 2007. Penurunan kasus gizi buruk ini belum dapat dipastikan karena penurunan kasus yang terjadi kemungkinan juga disebabkan oleh adanya kasus yang tidak terlaporkan (under reported). Mencuatnya kembali pemberitaan di media massa akhir-akhir ini mengenai balita gizi buruk yang ditemukan dan meninggal menunjukkan sistem surveilans dan penanggulangan dari berbagai instansi terkait belum optimal.
untuk info lebih lengkap silahkan download di sini
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN IMT/U PADA BALITA VEGETARIAN LAKTO OVO DAN NON VEGETARIAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2008
06.10 0 Comments jurnal
Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan kekurangan gizi sehingga tidak dianjurkan menjadi vegetarian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran IMT/U balita vegetarian dan non vegetarian serta faktor-faktor yang berhubungan yaitu asupan energi dan protein, pola diet (vegetarian, non
vegetarian), penyakit infeksi, jenis kelamin dan umur balita, pola asuh, pemberian ASI, anak dan ibu mencuci tangan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, status gizi ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan ibu, penghasilan keluarga dan jumlah balita. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan sumber data primer dan jumlah sampel 148 balita (75 vegetarian, 73 non vegetarian) yang dipilih secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi obesitas balita vegetarian 5,3% dan balita non
vegetarian 12,3%. Terdapat 13,3% balita vegetarian dan 8,2% balita non vegetarian yang gemuk, 56% balita vegetarian dan 57,5% non vegetarian berstatus gizi normal, namun terdapat 25,3% balita vegetarian dan 21,9% balita non vegetarian berisiko gemuk. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara status gizi (IMT/U) balita vegetarian lakto ovo dengan non vegetarian. Faktor yang paling dominan hubungannya dengan IMT/U adalah penghasilan keluarga pada balita vegetarian lakto ovo dan penyakit infeksi pada balita non vegetarian. Penyuluhan tentang bahaya obesitas dan pengetahuan gizi perlu dilakukan kepada ibu balita.
untuk mendapatkan info lebih lengkap silahkan download di sini
vegetarian), penyakit infeksi, jenis kelamin dan umur balita, pola asuh, pemberian ASI, anak dan ibu mencuci tangan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, status gizi ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan ibu, penghasilan keluarga dan jumlah balita. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan sumber data primer dan jumlah sampel 148 balita (75 vegetarian, 73 non vegetarian) yang dipilih secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi obesitas balita vegetarian 5,3% dan balita non
vegetarian 12,3%. Terdapat 13,3% balita vegetarian dan 8,2% balita non vegetarian yang gemuk, 56% balita vegetarian dan 57,5% non vegetarian berstatus gizi normal, namun terdapat 25,3% balita vegetarian dan 21,9% balita non vegetarian berisiko gemuk. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara status gizi (IMT/U) balita vegetarian lakto ovo dengan non vegetarian. Faktor yang paling dominan hubungannya dengan IMT/U adalah penghasilan keluarga pada balita vegetarian lakto ovo dan penyakit infeksi pada balita non vegetarian. Penyuluhan tentang bahaya obesitas dan pengetahuan gizi perlu dilakukan kepada ibu balita.
untuk mendapatkan info lebih lengkap silahkan download di sini
Langganan:
Postingan (Atom)
CSE
Loading